sumber : detik.com
Jakarta - Pemberontakan G30S/PKI atau Gerakan Tigapuluh
September PKI menurut istilah Jenderal Soeharto, atau Gestok atau Gerakan Satu
Oktober 1965 dalam istilah Sukarno, merupakan salah satu peristiwa politik
paling dramatis dan kelam bagi perjalanan bangsa Indonesia. Dramaturgi tersebut
dimulai dengan skenario gerakan politik pembunuhan para perwira tinggi TNI pada
waktu itu, dan menimbulkan turbulensi politik dari berbagai lapisan masyarakat.
Pemberontakan politik dan bersenjata itu pun akhirnya memakan korban digulingkannya
Sukarno dari jabatan presiden, dan diikuti dengan pelaksanaan proyek
"desukarnoisasi".
Dan Brown dalam novel The Da
Vinci Code menulis
ungkapan "history is
always writen by the winners"; sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Gestok 1965
telah menjadi peristiwa kelam bagi bangsa Indonesia karena sejak saat itu
narasi politik tentang bagaimana sesungguhnya latar belakang dan peristiwa
terjadinya pemberontakan tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965 itu tidak
dapat diketahui dengan jernih dan objektif oleh Bangsa Indonesia.
Penulisan dan kesimpulan peristiwa tersebut kemudian hanya
menjadi monopoli kekuasaan Orde Baru sebagai Sang Pemenang. Narasi tunggal
sejarah Bangsa Indonesia tentang Peristiwa 1965 oleh versi pemenang tersebut
kemudian ditulis menjadi narasi resmi atas nama negara, mulai dari penulisan
buku-buku sejarah hingga pembuatan film Pemberontakan G30S/PKI sejak 1984.
Sejak saat itu, setiap orang atau kelompok dan organisasi
yang ingin mengetahui apalagi meluruskan tentang bagaimana sesungguhnya
peristiwa itu terjadi, dan siapa saja pihak yang terlibat dalam Peristiwa
G30S/PKI atau Gestok tersebut akan dikenakan stigma sebagai PKI, komunis atau
pendukung PKI. Tidak jarang bagi tokoh-tokoh yang mencoba membahas apalagi
berusaha meluruskan objektivitas Peristiwa 1965 tersebut berakhir dengan nasib
yang tragis.
Saat ini, rezim Orde Baru sebagai Sang Pemenang peristiwa
pemberontakan politik tahun 1965 tersebut telah ditumbangkan rakyat melalui
Gerakan Reformasi tahun 1998, dengan epilog ditetapkannya mantan Presiden
Soeharto —sang Pahlawan Orde Baru— sebagai tersangka korupsi melalui TAP MPR
Nomor XI/MPR/1998. Haruskah sejarah kelam bangsa Indonesia tahun 1965 itu mau
terus kita propagandakan menurut versi rezim yang korup dan sudah tidak berlaku
lagi?
Bung Karno sebagai Korban
Kalau kita lihat sisi sejarah yang lain di luar narasi versi
Orde Baru, maka kita dapat melihat pandangan dan sikap Presiden Sukarno pada
waktu itu. Menurut Sukarno, peristiwa Gestok (Bung Karno menyebut Gestok karena
peristiwa pembunuhan para jenderal dan perwira TNI itu terjadi pada dini hari 1
Oktober 1965) dalam suratnya kepada Pimpinan MPRS RI tanggal 10 Januari 1967
yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara menjelaskan bahwa peristiwa G30S
adalah suatu "complete
ovverompeling" atau penyerbuan yang lengkap/sempurna bagi dirinya.
Berdasarkan penyelidikannya, Bung Karno menjelaskan bahwa
Peristiwa G30S ditimbulkan oleh pertemuan tiga sebab, yaitu: (a) keblingernya
pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi nekolim (neo kolonialisme dan
imperialisme), (c) adanya oknum-oknum yang tidak benar. Oleh karenanya Presiden
Sukarno pun mengutuk Peristiwa Gestok 1965 tersebut dan menyatakan yang
bersalah harus dihukum. Sukarno kemudian membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub) untuk mengadili pelaku-pelaku pemberontakan tersebut.
Sukarno juga menolak permintaan MPRS, harus bertanggung jawab
sendiri atas peristiwa Gestok tersebut. Dalam suratnya Sukarno pun menanyakan,
siapa yang bertanggung jawab atas usaha pembunuhan dirinya dalam penggranatan
di Cikini, pemberondongan dari pesawat udara oleh Maukar, pencegatan bersenjata
di gedung Stanvac dan di Cisalak. Sukarno meminta "kebenaran dan
keadilan" atas peristiwa-peristiwa tersebut.
Teori Sukarno yang menyebutkan bahwa Peristiwa Gestok adalah
"penyerbuan yang lengkap/sempurna" terhadap dirinya kemudian menjadi
kenyataan. Pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara yang diminta dan
disampaikan kepada Pimpinan MPRS RI untuk mempertanggungjawabkan Peristiwa G30S/PKI
pada waktu itu ditolak. Setelah Pimpinan dan anggota MPRS diganti dengan
orang-orang yang anti-Sukarno, yaitu antara lain Ketua MPRS Chairul Saleh
digantikan Jenderal TNI AD A.H. Nasution dan Wakil Ketua MPRS Ali Sastriamidojo
diganti Osa Maliki, kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967
yang mencabut kekuasan Sukarno.
Tragisnya, dalam bagian menimbang/konsideran Tap MPRS
tersebut dituliskan, berdasarkan laporan Panglima Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Jenderal Soeharto) dituduhkan bahwa Presiden Sukarno terlibat
dalam peristiwa G30S/PKI. Berdasarkan tuduhan itulah akhirnya MPRS mencabut
kekuasaan Sukarno. Dalam pasal 6 Tap MPRS XXXIII/1967 itu terdapat ketentuan
bahwa Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden berkewajiban untuk melakukan
proses peradilan atas tuduhan Bung Karno terlibat dalam Peristiwa G30S/PKI.
Namun, sampai Bung Karno meninggal dunia pada 21 Juni 1970
tidak pernah ada proses peradilan apapun, apalagi sebuah peradilan yang fairatas tuduhan keji
yang dialamatkan kepadanya. Akhirnya Sang Proklamator Bangsa Indonesia itu
meninggal dunia dengan membawa beban yang amat berat bagi diri dan keluarganya
sebagai tertuduh pengkhianat kepada bangsa dan negara yang ia ikut susah payah
mendirikannya, melalui pemberontakan G30S/PKI.
Setelah 45 tahun berlalu, tuduhan keji Bung Karno melakukan
pengkhianatan karena mendukung Peristiwa G30S/PKI itu pun diralat oleh
pemerintah Republik Indonesia. Pada 7 November 2012 melalui Keputusan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 83/TK/Tahun 2012, Bung Karno mendapatkan status
kenegaraan sebagai Pahlawan Nasional. Pemberian gelar Pahlawan Nasional
tersebut memiliki implikasi hukum gugurnya tuduhan Bung Karno pernah melakukan
pengkhianatan kepada bangsa dan negara sebagaimana tertuang dalam Tap MPRS
Nomor XXXIII/1967 tersebut.
Dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 20 tahun 2009 tentang
Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan diatur ketentuan bahwa syarat seorang
tokoh bangsa Indonesia dapat memperoleh status gelar Pahlawan Nasional adalah apabila
semasa hidupnya (antara lain) tidak pernah dihukum apalagi berkhianat kepada
bangsa dan negara.
Meskipun demikian, Bung Karno kini sudah tiada. Beliau telah
pergi meninggalkan kita semua sejak 47 tahun lalu. Keluarga besar Bung Karno
dan para pengikut-pengikutnya pun sudah mengikhlaskan kepergiannya dan
peristiwa kelam yang dialami Bung Karno dan bangsa Indonesia. Saya yakin demi
persatuan bangsa Indonesia, kita semua sudah memaafkan kejahatan politik kepada
seorang Pendiri Bangsa, namun tidak untuk kita lupakan agar kita semua dapat
memetik hikmahnya. Forgiving but not
forgetting.
Dengan dimensi narasi sejarah yang demikian itu, apakah masih
relevan lagi jika saat ini Bangsa Indonesia masih ingin memprogandakan kembali
narasi sejarah G30S/PKI hanya mengikuti cerita yang dibuat oleh rezim Orde Baru
melalui pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI? Selain rezim
tersebut sudah tiada dan dijatuhkan rakyat dengan membawa stigma sebagai rezim
koruptor sebagaimana TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, juga narasi film tersebut
bukanlah fakta yang objektif dan komprehensif tentang sejarah bangsa Indonesia
pada 1965-1967.
Film tersebut secara konten mengandung unsur kekerasan dan
hanya mempertontonkan perpecahan di tubuh TNI dan pertikaian politik para
pendahulu bangsa yang sangat merusak nation and character
buildinggenerasi muda
bangsa Indonesia. Jika kita konsisten untuk menjaga persatuan bangsa dengan
sungguh-sungguh, marilah kita akhiri melanjutkan sisa-sisa konflik para
pendahulu bangsa kita. Masih banyak hal-hal positif yang telah diperbuat para
pendahulu bangsa Indonesia yang dapat kita jadikan suri tauladan bagi generasi
bangsa berikutnya. "Marilah Kita Warisi Api Perjuangan Para Pendahulu
Bangsa Bukan Mewarisi Abunya."
Membicarakan kebangkitan PKI dan komunisme dalam sistem
negara hukum Pancasila adalah sesuatu yang tidak ada gunanya. Selain tiap-tiap
bangsa wajib ber-Tuhan menurut falsafah sila Ketuhanan dalam Pancasila
sebagaimana dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945, PKI juga sudah mati
permanen di Indonesia. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan
Sebagai Partai Terlarang di Indonesia sudah final karena berdasarkan ketentuan
pasal 2 ayat (1) TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi
dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002 telah dinyatakan masih
berlaku.
Sementara, lembaga MPR RI pasca perubahan UUD 1945 menjadi
UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada 1999-2002 sudah tidak lagi memiliki
kewenangan apapun untuk membuat ketetapan MPR yang bersifat mengatur keluar (regeling). Dengan demikian
tidak ada lagi celah hukum apapun bagi bangkitnya PKI di Indonesia karena TAP
MPR Nomor XXV/MPRS/1966 sudah tidak dapat lagi cabut oleh siapapun dan lembaga
negara mana pun termasuk oleh MPR sendiri.